NURCHOLISH MADJID DAN PEMBARUAN ISLAM
(Pemikiran Cak Nur Tentang Modernisasi, Sekularisasi Dan Desaklarisasi)[1]
Oleh: M. Asrul Pattimahu
A. Pengantar
Gelombang pemikiran Islam kontemporer yang muncul di dunia Islam membuktikan, bahwa diskursus Islam akan terus mengalami diaspora yang tak terbendung. Pemikiran ke-Islaman akan selalu mengikuti gerak sejarah. Munculnya berbagai corak pemikiran Islam dalam mengapresiasi realitas modern dengan segala pranata sosialnya merupakan anak kandung sejarah yang terus bergerak melintasi zamannya, baik yang progresif-liberal maupun yang tradisional-tekstual.
Sejak awal dasawarsa 1970-an, pembaruan telah menjadi sitilah yang pejoratif, dengan konotasi tertentu dan membawa kecurigaan dikalangan luas, tidak saja dilingkungan awam, tetapi juga dikalangan terpelajar. Ada dua sebab yang menimbulkan tanggapan ini. Pertama, pembaruan Islam di curigai atau dikaitkan dengan paham sekularisme. Kedua, pembaruan juga disangka mengandung latar belakang politik tertentu yang mengarah pada usaha-usaha “memojokkan” peranan umat Islam.[2]
Gagasan pembaruan (tajdid) yang berkembang akhir-akhir ini bukan merupakan hal baru. Tiap kurun waktu, ketika sebagian manusia sudah kehilangan arah, dan agama tidak lagi dijadikan sebagai tolak ukur dan pedoman, selalu ada yang terpanggil untuk menjadi pembaru (mujaddid) pada zamannya.[3] Munculnya para pembaru ini merupakan bagian dari siklus sejarah kehidupan manusia, bahwa manusia akan selalu berubah, baik sikap, perilaku dan mentalitas psikologis sosial maupun keagamaan.[4]
Para pembaru berusaha memurnikan kembali berbagai pemikiran atau pemahaman menusia terhadap Islam, yang telah berada pada kondisi “takut”, karena taklid, jumud dan sebagainya. Pembaru itu berikhtiar menunjukkan dan menampilkan universalitas Islam yang telah mengalami reduksi, sehingga wajah Islam sebagai Rahmatan lil’alamin benar-benar terasa dan terwujudkan dalam kehidupan masyarakat yang terus mengalami diaspora.
Menurut M. Din Syamsuddin, paling tidak ada dua faktor saling tarik menarik yang menjadikan isu pembaruan pemikiran dalam Islam. Pertama, watak keuniversalan Islam, dan yang kedua, watak kemutlakan Islam.[5] Kedua faktor diatas masing-masing memiliki sandaran dalam sumber-sumber doktrin Islam yang dipakai untuk menguatkan argumentasi mereka.
Dalam pandangan Cak Nur – Sapaan akrab Nurcholis Madjid –, yang akan kita bahas lebih jauh dalam bab selanjutnya, bahwa pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.[6] Dorongan melakukan pembaruan inilah yang menurut Cak Nur, mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Ide pembaruan dalam pemikiran Islam hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-peristiwa ilmu dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final.[7]
Dari argumentasi tersebut, dapat dikatakan bahwa tanpa pembaruan pemahaman, doktrin keagamaan pada era tertentu akan membeku dan bisa kehilangan relevansinya. Penyegaran itu perlu untuk mencari relevansi pemahaman ajaran kitab suci dengan tantangan zaman dan gesekan antar berbagai tradisi keagamaan dalam era globalisasi.
Dari studi historis–empiris terhadap fenomena keagamaan, terindikasi bahwa agama juga sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk dan berkait kelindannya agama dengan berbagai kepentingan sosial kemasyarakatan pada level historis–empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kentemporer yang paling rumit untuk dipersoalkan.[8]
Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam harus selalu berupaya menggali dasar-dasar dalam doktrin Islam (baca; al-Qur’an dan Sunnah) sebagai landasan memecahkan setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaruan, atau lebih konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi perkembangan.
Memperbincangkan gerakan pemaruan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Cak Nurkarena ia adalah tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentunya Cak Nur tak sendiri. Ada banyak tokoh yang seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan Islam seperti, M. Dawam Rahardjo, Amin Rais, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat dan tentunya masih banyak lagi.
Cak Nur adalah pemikir Islam yang mempunyai pengatuh kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam Indoneia. Pemikirannya membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan Islam, dan lebih dari itu ia bahkan menjadi rujukan serta kiblat kaum intelektual Muslim Indonesia. Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Cak Nur, ialah ia berhasil mengembangkan wacana intelektual dikalangan masyarakat Islam secara modern, terbuka, egaliter, dan demokratis.
B. Biografi Singkat Nurcholis Madjid[9]
Nurcholis Madjid (selanjutnya di singkat NM), lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H dari keluarga kalangan pesantren. NM dibesarkan dilingkungan keluarga kiai terpandang. Ayahnya bernama KH. Abdul Madjid, seorang ulama terkemuka di kalangan NU. Pendidikan yang ditempuh NM dimulai sejak Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah, Pesantren Darul-ulum, Kulliyatul Mu’allimin (KM) Pondok pesantren modern Gontor Ponorogo. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968.
Selama menjalani aktifitas kemahasiswaannya, NM aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Diantaranya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sekaligus pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI selama dua periode sejak 1966-1969 dan 1969-1971). Pada tahun 1967-1969, ia menjadi Presiden Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations tahun 1969-1971.
Sejak 1978 ia melanjutkan studinya di University of Chicago USA dan meraih gelar Doktor (Ph.D Study Agama Islam) pada tahun 1984 dengan disertasi berjudul Ibn Taimiyah on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam, (Ibn Taimiyah Tentang Kalam dan Filsafat: Suatu Persoalan Hubungan Antara Akal dan Wahyu Dalam Islam). Setelah kembali ke tanah air pasca menyelesaikan studinya di AS, NM kemudian mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina.
Selain menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1972, NM juga menjadi Guru Besar tamu pada McGill University, Montreal, Canada tahun 1991-1992. NM menjadi Ketua Yayasan Paramadina sejak 1985, dan mejadi Rektor Universitas Paramadina Mulya sejak 1998-2005. NM wafat Pada 29 Agustus 2005.
C. Nurcholis Madjid dan Pembaharuan
Mungin cara memahami Nurcholis Madjid, kata Fahri Ahli, cukup dengan melihat Yayasan Wakaf Paramadina. Lembaga ini menjadi tempat bersemainya para pemikir mudah.[10] Corak kinerja Paramadina merupakan simbol diaspora intelektual dan kultural NM. Secara kelembagaan, di Paramadinalah NM mengembangkan ide-ide intelektualnya yang pernah ia samapaikan sebelum melanjutkan studinya di Universitas Chicago AS.
Pada tahun 1968 NM mendapatkan kesempatan mengunjungi AS selama lima pekan. Beberapa pengamat termasuk Ahmad Wahib mengatakan bahwa kunjungna NM ke AS merupakan pengalaman penting. Bahkan banyak kritisi mengatakan bahwa kunjungan NM ke Amerika inilah yang membawa perubahan 180 derajat. NM yang tadinya anti Amerika berubah menjadi pro Amerika.[11] Dalam bukunya Prgolakan Pemikiran Islam, Ahmad Wahib mengatakan kunjungan NM ke Amerika banyak merubah pendiriannya, namun hal ini dibantah NM sendiri. NM mengatakan bahwa bukan perlawatannya ke Amerika yang merubahnya, melainkan ke Timur Tengah.[12]
Debut intelektual Cak Nur mulai mengemuka diawal tahun 70-an dengan tema-tema besarnya yang muncul dalam beberapa kesempatan diskusi antara lain “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dan “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”. Tidak seperti sekarang, gagasan Cak Nur sangat tidak lazim dalam diskursus Islam di Indonesia, bahkan berada diluar arus utama pemikiran Islam sehingga begitu banyak mengundang polemik. Umat Islam Indonesia saat itu masih sangat jauh dari perdebatan-perdebatan seperti itu.
Pada tahun 1970 dalam acara diskusi yang di selenggaran oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, NM membawakan makalah dengan judul “Keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat”, dalam kesempatan tersebut muncul slogan “Islam Yes Partai Islam No”, diikuti dengan istilah sekulariasi yang kemudian banyak mengundang polemik, dan NM banyak mendapat kritikan karena idenya tersebut. Kritikan yang cukup tajam datangnya dari Prof. H. M. Rasyidi dan Abdul Kadir Djailani. Prof. Rasyidi menilai NM telah menggunakan istilah tersebut secara arbitrair atau semau gue.[13]
Sejak munculnya gagasan sekularisasi pada era 70-an, NM dijuluki sebagai penarik gerbong kaum pembaru. Bergulirnya ide sekularisasi tersebut, NM sepertinya telah membuka sebuah babakan baru dalam khazanah intelektual Islam yang sampai hari ini masih terus berkembang.
D. Ide Pembaruan Nurcholis Madjid
1. Modernisasi
Diskursus tentang modernitas merupakan wacana pemikiran yang menarik perhatian dan mampu membangkitkan birahi intelektual untuk di diskusikan. Tema ini sangat menarik terutama bila dihadapkan dengan sebuah pertanyaan penting, apakah Islam itu kompatibel dengan modernitas?.
Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional.
Modernisasi ditandai oleh kreatifitas manusia dalam mengatasi kesulitan hidupnya di dunia. Arnold Toynbee (seorang ahli sejarah), mengatakan bahwa modernitas telah mulai sejak akhir abad ke lima belas ketika orang Barat “berterima kasih bukan kepada Tuhan, tetapi kepada dirinya sendiri karena ia telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan”.[14] Menurut Samuel Huntington, modernitas adalah produk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat manusia mampu membentuk serta mengendalikan alam. Modernitas ditandai dengan proses perubahan yang sangat cepat dengan melibatkan industrialisasi, urbanisasi, dari suatu masyarakat primitif menuju masyarakat berperadaan. [15]
Jika modernisasi merupakan produk perkembangan ilmu pengetahuan, maka Islam menurut NM, adalah agama yang sangat modern bahkan terlalu modern untuk zamannya,[16] karena Islam adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut dalam kerangka keimanan,[17] maka kaum Mislim hendaknya yakin bahwa Islam bukan saja tidak menentang ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi pengembangannya dan tidak melihat perpisahan antara iman dan ilmu.
Argumentasi NM tersebut berkembang dari pandangannya tentang historisitas sejarah Islam yang sempat mengalami puncak kejayaannya sejak masa kekhalifaan sampai runtuhnya kerajaan-kerajaan awal Islam di zaman klasik yang kesemuanya memiliki kultur pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat kuat. Kultur ini terjadi karena di zaman itu (zaman klasik Islam) terjadi usaha-usaha yang serius dalam hal interpretasi teks-teks kitab suci yang dampak positifnya masih terasa hingga sekarang.
Untuk memberikan sebuah batasan asumsi tentang modernisasi, kita lihat pendapat Nurcholis Madjid (NM) sebagi berikut:
Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan bola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya-guna dan efisiensi yang maksimal…. Jadi sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam….[18]
Sebagai seorang Muslim yang dengan sepenuhnya meyakini Islam sebagi Way of Life, yang juga akan menganut cara berfikir Islami, menurut NM, pemaknaan terhadap substansi modernis harus berorintasi kepada nilai-nilai besar Islam. Dengan demikian akan memperkuat keyakinan kita bahwa modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja secara maksimal merupakan perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.[19] Karena manusia para prinsipnya akan selalu mengalami perubahan dalam setiap kurun waktu, maka modernitas merupakan kelanjutan wajar dan logis dari sejarah perkembangan manusia yang lambat atau cepat pasti akan muncul.
Hakikat zaman modern menurut NM bukan karena kebaruannya yang seolah-olah tidak ada lagi tahap yang berikutnya, modern mengisyaratkan penilaian tertentu yang cenderung positif (modern berarti maju dan baik).[20] Bagi NM, menjadi modern juga berarti progresif dan dinamis, jadi tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, karena itu bersifat merombak tradisi-tradisi yang tidak benar, tidak rasional, tidak ilmiah, tidak sesuai dengan hukum alam.
Zaman sekarang yang di sebut zaman modern bukanlah akhir dari perkembangan peradaban manusia, ataupun klimaks dari segala pemanfatan fungsi inderawi manusia terutama fungsi akal, karena boleh jadi setelah zaman modern ini akan ada zaman lain yang otoritas dan tingkatan ilmu pengetahuannya lebih berkembang dan canggih dari yang kita saksikan sekarang. Ini merupakan konsekuensi logis dinamika kehidupan manusia, sebab peradaban manusia telah beberapa kali mengalami (yang biasanya kita kenal) revolusi, dari revolusi Industri (teknologis) di Inggris Tahun 1793, revolusi Perancis (sosial-politik) 1798, dan juga revolusi Rusia 1917.
Meski demikian, kemodrenan kata NM adalah relatif sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu yang dikatakan modern dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang, sedangkan yang modern secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yakni Tuhan. Jadi modernitas berada dalam suatu proses penemuan kebenaran yang relatif menuju penemuan kebenaran yang mutlak, yaitu Allah.[21]
Dalam perspektif ini, kemodrenan dengan segala implikasi sosialnya merupakan usaha kritis manusia dalam memenuhi tuntutan hidupya. Karena ia merupakan usaha manusia maka dengan sendirinya ia menjadi relatif, sebab pada dasarnya kebenaran insani apapun bentuknya menjadi relatif, dan kebenaran mutlak adalah milik Allah.[22] Tidak seorang manusiapun berhak mengatakan kebenaran insani sebagai kebenara mutlak, sebaliknya, karena menyadari kerelatifan manusia, setiap orang harus menerima dan mendengarkan kebenaran dari orang lain. Dengan demikian akan terjadi suatu proses kemajuan yang terus menerus dari kehidupan manusia sesuai dengan fitrah dan wataknya yang hanif yakni mencari dan merindukan kebenaran.
Modernisasi sering dikaitkan erat dengan dunia Barat, karena secara kebetulan momentum zaman modern dimulai oleh Eropa Barat, sehingga akan menjadi masalah bagi bangsa-bangsa bukan Barat ketika memasuki atau tepatnya ingin melakukan usaha-usaha menuju proses modernisasi. Bangsa-bangsa non-Barat akan diperhadapkan secara dilematis antara usaha mempertahankan keaslian budaya mereka dengan sistem modernisasi yang sepenuhnya dianggap telah menyatu dengan budaya Barat.
Masalahnya semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan asumsi sosial bahwa karena modernisasi merupakan produk Barat, maka bangsa-bangsa (terutama bangsa non-Barat) yang ingin menjadi modern harus terlebih dulu ter-Barat-kan, menggantikan budaya lokal mereka dengan kebudayaan yang mirip Barat atau mengalami westernisasi, karena westernisasi adalah pintu menuju modernisasi, seperti misalnya yang di lakukan oleh Mustafa Kemal Attaturk (Kemalisme) yang menciptakan Turki Baru di atas puing-puing kekuasaan Turki Usmani dan melakukan upaya kearah Westernisasi dan modernisasi.
Dalam menaggapi hal ini, NM menolak anggapan diikutinya proses westernisasi dalam hal modernisasi. NM mengatakan:
Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisai yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisme. Dan westernisme yang kita maksudkan itu ialah bahwa suatu keseluruhan paham yang membentuk suatu total way of life, di mana faktor yang paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya…[23]
Hal senada juga di dikatakan oleh Samuel Huntington bahwa, argumen yang didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat modern harus bercorak Barat, bahwa peradaban modern adalah peradaban Barat, bagaimanapun juga, sepenuhnya merupakan pengidentifikasian yang salah.”[24]. Modernisasi pendek kata tidak harus berarti Westernisasi. Masyarakat non-Barat dapat saja melakukan modernisasi sekaligus mengadopsi nilai-nilai, institusi-institusi dan praktik-praktik Barat, tanpa meninggalkan budaya mereka sendiri.
Seperti yang dilakukan oleh orang Jepang dengan slogan Wakon, Yosei, “semangat Jepang, teknik Barat”.[25] NM menilai keberhasilan Jepang dalam mengadopsi teknologi Barat modern dan membuatnya sesuai selera kejepangan merupakan keberhasilan mentransfer modernitas dari Barat sehingga menyatu dengan sistem budaya mereka secara otentik dan absah. [26]
Melalui cara-cara yang fundamental, dunia bisa saja menjadi lebih modern dan tidak begitu ter-Barat-kan. Kasus bangsa Jepang diatas begitu meyakinkan bahwa modernisasi tidak mesti westernisasi. Ikatan-ikatan kultural, budaya-budaya pribumi, identitas-identitas lokal dan keagamaan, tetap saja dipertahankan bahkan mestinya diletakkan sebagai instrumen “filterisasi” budaya asing yang umumnya telah bercampur aduk dan dikalim menjadi bagian dari modernsasi.
Dalam memposisikan Islam dengan moderitas yang oleh kebanyakan orang dinilai dikotomis, mestinya kita kembali melihat Islam dalam semangatnya yang lebih dalam. Islam adalah sebuah agama yang mempunyai watak, visi, dan pandangan yang ke arah kemajuan. Islam justru sangat memuka peluang dan memberi tempat pada modernitas. Dalam hal ini masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemodrenan dengan tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang di anut. Menjadi modern itu tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dan kaffah dalam menjalankan ajaran agamanya. Fraseologinya seseorang bisa menjadi modern dengan tetap setia kepada Islam.
2. Sekularisasi
Membincangkan ide sekularisasi yang di lontarkan Nurchlis Madjid pada tiga dasawarsa yang lalu, pasti akan mengingatkan kita pada kencangkannya diskusrus yang cukup ramai dengan polemik disaat itu. Seperti makna intrinsik terkandung dalam istilah sekularisasi itu, bahwa ada kesan profanitas yang berlebihan dan kecenderungan mengabaikan masalah yang bersifat transendental.
Ide sekularisasi NM pertama kali mucul saat kesempatan memberikan ceramah dalam acara beberapa organisasi mahasiswa pada 3 Januari 1970. NM mengajurkan sekularisasi sebagai sebuah bentuk pembebasan dari segala pandangan-pandangan keliru yang dianggapnya telah mapan, namun NM sendiri tidak bermaksud menerima paham sekularsisme, bahkan secara tegas ia menolaknya. Memulai anjurannya, NM mengatakan;
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup yang dipandang berfungsi sangat mirip dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal…[27]
Dari penegasan tersebut, nampaknya NM ingin menjelaskan bahwa antara sekularisasi dan sekularisme merupakan dua hal yang berbeda. “Sekularisasi” cenderung kepada sebuah proses, dan “sekularisme” dengan isme-nya merupakan bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai padanan agama, seperti yang ada pada dua ideologi besar dunia, sosialisme-komunis dan kapitalisme-sekuler yang dalam prosesnya berusaha melepaskan ketergantungan manusia dari asuhan agama.
Dengan mengutip pandapat Talcoot Parson, NM menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan.[28]
Penegasan lebih jelas tentang penggunaan istilah sekularisasi, NM mengatakan;
Jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas dunawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tidakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini…[29]
Secara sosiologis, sekularisasi adalah manifestasi pandangan manusia sebagai khalifah Allah. Dunia dan alam diserahkan kepada kebebasan dan tanggungjawab manusia, untuk di manfaatkan. Maka seperti yang di katakan NM, sekularisasi adalah pembebasan dari asuhan agama, sebagai cara beragama secara dewasa, beragama dengan penuh kesadaran dan pengertian, tidak sekedar konfensional belaka.[30]
Dalam hal penggunaan istilah sekularisasi diatas, NM seakan ingin memberikan sebuah pemahaman tentang pentingnya membedakan agama dan paham keagamaan. Menurut NM, agama dan paham keagamaan adalah sesuatu yang berbeda. Agama adalah sesuatu yang mutlak karena berasal dari Tuhan, yang maha mutlak, tetapi pemahaman keagamaan, cara manusia memahami agama tersebut terdapat unsur-unsur yang berbeda dalam lingkungan daya dan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Daya dan kemampuan manusia adalah bernilai manusiawi, karena ia berada pada diri manusia itu sendiri.[31]
Pemahaman keagamaan menurut NM lahir dari pada usaha-usaha keras (ijtihad) manusia terhadap pesan-pesan yang di sampaikan Tuhan, sehingga jelas mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam mamahami agama itu sendiri. Pemahaman terhadap agama itu sendiri, oleh NM tidak boleh disaklarkan, sehingga diperlukan secara kontinyu usaha-usaha membangkitkan kembali ilmu pengetahuan yang telah hilang di masa-masa kejayaan masyarakat salaf untuk memahami kembali pesan-pesan agama.
Matinya ilmu pengetahuan dalam Islam menurut NM adalah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan ekonomi dunia Islam, disebabkan percekcokan yang tidak habis-habisnya dikalangan mereka tidak dalam bidang-bidang pokok melainkan dalam bidang-bidang kecil seperti masalah fiqih dan peribadatan. Perdebatan itu justru diakhiri dengan menutup sama sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid kepada para pemimpin atau pemikir keagamaan yang telah ada, yang berakibat mematikan kreatifitas individual dan sosial kaum Muslim.[32]
Dalam hubungan ini, dapatlah kita mengerti mengapa NM menyesalkan keputusan para pemuka Islam untuk menutup pintu ijtihad. Sehingga yang terjadi ialah umat Islam kehilangan kreatifitas dalam kehidupan duniawi, dan mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat, dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat ijtihad.
Umat Islam sekarang, menurut NM cenderung memahami Islam hanya dari satu sisi ilmu tradisional Islam saja, yakni ilmu fiqih yang hanya membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah. Sementara ilmu-ilmu tradisional Islam lain, yakni Falsafah, Kalam, dan Tasawuf masih kalah mendalam dan meluas.
Nampaknya NM menginginkan umat Islam tidak secara parsial memahami Islam dengan hanya menakankan pada masalah fiqhiyah. Apalagi fiqih itu sendiri tak lebih merupakan usaha-usaha ulama dalam mengkontektualisaikan ajaran Islam. Secara logis karena ulama itu sendiri adalah manusia, maka tafsiran ulama tersebut tidak bisa dilepaskan dari sifat kemanuisaannya, dan tak pantas dianggap absolut. Karena mengabsolutkan pikiran ulama – sama artinya mengobsolutkan sesuatu selain Tuhan – secara theologis bisa berakibat pada kesyirikan kepada Allah, Tuhan yang maha absolut. Bagi saya inilah titik pangkal semangat istilah sekularisasi yang di maksudkan NM.
3. Desaklarisasi
Kalau diteliti lebih serius, ide sekularisasi secara substantif sudah inklud didalamnya semangat ide desaklarisasi NM. Tapi baiklah karena bagi penulis ada semacam keharusan untuk membuat sub bab khusus mengenai ide desaklarisasi, penulis akan mencoba menguraikannya secara ringkas. Karena adanya tuntutan tersebut, maka dalam menguraikan ide sekularisasinya penulis tidak terlalu jauh membahas masalah theologis, sebab menurut penulis ide desaklarisasi lebih ditekankan pada masalah theologis.
Ide desaklarisiasi NM berpangkal pada semangat perkataan “Tawhid” (di Indonesiaan menjadi tauhid)[33] yang mengandung makna pemebasan, yakni pembebasan dari segala obyek duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai dan benda-benda. Jadi sederhananya, menurut NM, Tauhid yang mengajarkan sikap memahaesakan Tuhan itu memiliki konsekusensi pembebasaan diri dari segela sesuatu yang membelenggu selain Tuhan. Menyangkut konsekuensi perkataan tauhid tersebut NM menjelaskan;
…Sebenarnya pandangan yang wajar dan apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara otomatis harus dipunyai oleh seorang Muslim, sebagai konsekwensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya, harus melahirkan desaklarisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya. Sebab saklarisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya yang dinamakan syirik, lawan tauhid. Maka sekularisasi itu memperoleh maknanya yang konkret, yaitu desaklarisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Ilahiah (transendental), yaitu dunia ini.[34]
Dari semangat Tauhid ini, lahir istilah – yang biasanya digunakan NM –“monoteisme radikal”. Semangat Tauhid tidak hanya berimplikasi sebagai mehamesakan Tuhan saja, tetapi juga memiliki efek pembebesan diri dan pembebasan sosial yang sangat kuat. Efek pembebesan itu sesuai dengan semangat dan fitrah kemanusiaan sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi, yang karenanya manusia itu harus merdeka.
Disebutkan dalam kitab suci bahwa manusia harus meletakkan dirinya dalam keimanan, karena dia secara alami dan merupakan sifat bawaan untuk cenderung kepada kebenaran (hanif-an) karena manusia secara alami adalah lurus. Kecederungan tersebut adalah konsekuensi sifat alami manusia yang telah ditanamkan dalam manusia. Sifat alami kepada kelurusan tak dapat di ubah dan bukan merupakan hal yang dapat di ubah selamanya, karena merupakan sifat perennial pada manusia.[35] Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surah ar-Rum/30:30;
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[36]
Perkataan Tauhid dan masalah percaya kepada Tuhan yang maha Esa menurut NM, masih harus di bicarakan kembali, sebab ada kesan bahwa ber-Tauhid hanyalah berarti percaya kepada Tuhan. Ternyata jika kita teliti lebih mendalam dan teliti al-Qur’an, tidaklah sepenuhnya demikian.[37] Masih ada hal penting yang harus diikuti dari semangat perkataan Tauhid itu, yakni menghilangkan paham syirik, paham yang menganggap Tuhan memiliki serikat atau sekutu. Inilah salah satu bentuk semangat Tauhid yang belum sepenuhnya mendasari konsekuensi logis paham ke-Tuhan-an.
NM mencontohkan hal tersebut dengan orang-orang musyrik di Makkah yang dalam al-Qur’an digambarkan, mereka juga percaya kepada Allah[38], namun mereka tidak bisa dikatakan sebagai kaum beriman (al-mu’minun) dan kaum bertauhid al-muwahhidun), tapi sebaliknya disebut kaum yang mempersekutukan Tuhan atau memperserikatkan Tuhan (al-musyrikun, penganut paham syirik, yakni oknum yang menyertai Tuhan dalam hal keilahian. Padahal merekapun tahu dan sadar betul bahwa sekutu Tuhan itu adalah ciptaan Tuhan juga, bukan Tuhan itu sendiri.[39] Hal ini digambarkan dalam al-Qur’an;
Dan sungguh jika kamu (Muhammad) bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan mereka (sesama manusia yang mereka sembah selain dari Allah it?), niscaya mereka menjawab, “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)?.[40]
Tradisi masyarakat Arab seperti yang digambarkan al-Qur’an diatas memberikan gambaran bahwa, percaya kepada Allah tidak dengan sendirinya berarti tauhid. Sebab percaya kepada Allah itu masih ada kemungkinan percaya kepada yang lain-lain sebagai peserta Allah dalam keilahian, Dan inilah problem manusia.
Jika manusia tidak melakukan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan secara mutlak, maka yang terjadi adalah manusia pasti akan tunduk kepada yang relatif. Manusia harus memperkuat ikatan dengan Tuhannya sehingga manusia dapat terbebaskan dari ikatan-ikatan atau dominasi sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia itu sendiri. Yaitu manusia yang sikap tauhidnya belum tercemari oleh nafsu pemujaan terhadap berhala materi.[41]
Dalam pandangan NM, problem utama umat manusia ialah politheisme, bukan ateisme, maka program pokok al-Qur’an ialah membebaskan manusia dari belenggu paham Tuhan banyak itu dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkapkan dalam kalimat “al-nafy wa al-itsbat” atau “negasi-konformasi” yaitu La ilaha illa Llah[42] yang oleh Marshall Hodgson disebut sebagai ”rumusan kepercayaan Muslim”[43]. Dengan negasi itu dimulai proses pembebesan yaitu pembebasan dari belenggu kepercayaan kepada hal-hal yang palsu. Tetapi demi kesemprunaan kebebesan itu manusia harus mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup tanpa kepercayaan sama sekali adalah sesuatu yang musthail.
Kalimat La ilaha illa Llah merupakan kalimat persaksian. Mengucapkan dan meyakini syahadat adalah bagian dari aqidah, karena merupakan suatu yang fundamental. Kualitas seorang Muslim amat ditentukan oleh kadar kesaksian dan kedalaman pemahamannya terhadap kalimat syahadat itu. Tentunya dengan segala konsekuensi desaklarisasi dari segala bentuk – yang biasa disebut NM dengan – tuhan (dengan t kecil) selain Tuhan (dengan T besar) yakni Allah. Dan sesungguhnya inilah tauhid yang benar.
Oleh karena itu, manusia pada umumnya yang telah memiliki kepercayan kepada Tuhan, proses pembebasan itu tidak lain dengan melakukan pemurnian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Pertama melepaskan diri dari kepercayaan kepada sesuatu yang palsu, dan kedua dengan memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar.
Semangat inilah yang sesunguhnya dikandung oleh kalimat syahadat, yang bagaikan suatu gerbang yang secara formal wajib diikrarkan bagi sesorang yang menyatakan diri memeluk Islam. Pernyataan ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru dalam diri manusia, melainkan hanya menegaskan, mengingatkan dan mengungkapkan kembali benih monoteisme yang telah tertanam dalam diri manusia dan sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Kalimat tersebut (kalimat tauhid) merupakan sekedar penegasan kembali, karena sebelum dilahirkan telah ada perjanjian antara manusia dengan Tuhan yang oleh NM disebut sebagai perjanjian “primordial” dan karenanya dianggap bagian dari fitrah manusia itu sendiri.
Wa-‘l Lâh a‛lam bi al-shawâb
DAFTAR BACAAN
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Penerbit; Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet; I, Februari 2006
Halim, Abdul, Editor, Menembus Batas Tradisi, Manuju Masa Depan Yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, Penerbit; Buku Kompas, Jakarta, Cet; II, Oktober 2006
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama, Penerbit; Hujjah Press, Jakarta, Cet; I, Mei 2007
Hidayat, Komaruddin dan M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, Terbitan Ulang; Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Maret 2003
Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam, Consciense and History in a World Civilization, Jilid I. Diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara dengan judul The Venture of Islam, Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, Penerbit; Paramadina, Jakarta, Cet; II, Agustus 2002
Huntington, Samuel P, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, di terjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul, Benturan Antarperedaban dan Masa Depan Politik Dunia, Penerbit; Qalam, Yogyakarta, Cet; XI, Juni 2005
Madjid, Nurcholis, Islam Doktirn dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentag Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodrenan, Penerbit; Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, Cet; I, 1992
______________, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Penerbit; Mizan, Bandung, Cet, XI; November 1998
______________, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pemangunan di Indonesia, Penerbit; Mizan, Bandung, Cet; I, Januari 1997
______________, Masyarakat Religius, Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit; Paramadina, Jakarta, Cet; II, April 2002
______________ dkk, Islam dan Humanisme, Aktualisasi Humanisme Islam di TengahKrisis Humanisme Universal, Penerbit; IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet; I, Januari 2007
______________, dkk, Islam Universal, Penerbit; Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet; I, November 2007
______________, dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Penerbit; Paramadina, Jakarta 2003
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, Penerbit; Mizan, Bandung, Cet; I, Mei 2993
Rakhmat, Jalaluddin, et.al. Prof, Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Penerbit; Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Edisi Revisi, Cet; II, Agustus 2003
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Penerbit; Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet; II, Juni 2002
Shofan, Moh, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Lieralisme, Penerbit; IRCiSoD, Jogjakarta, Cet; I, April 2006
Tarigan, Azhari Akmal, Islam Mazhab HMI, Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), Penerbit; GP Press Group, Jakarta, Cet; I November 2007
[1] Makalah dipresentasikan pada mata kuliah Perkembangan Modern di Dunia Islam, (Dosen; Dr. H.M. Arfah Siddiq, MA). Magister Pengkjian Islam, Program Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia, Makassar. 2008
[2] M. Dawam Rahardjo,
Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, (Cet; I, Bandung, Mizan; Mei 1993), h. 273
[3] Ahamd Mufli Saefuddin, dalam Jalaluddin Rahmat, et.al, Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, (Cet; II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar; Agustus 2003), hal. 36
[4] Perubahan, sikap, perilaku dan mentalitas psikologis agama tidak dimaksudkan bahwa manusia selalu berubah pendirian keagamaannya, atau mengalami evolusi keyakinan. Namun perubahan dalam arti pemaknaan atas ajaran-ajaran non-dasar keagamaan dalam perspektif implementasinya.
[5] Lihat, M. Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (Cet. II; Logos Wacana Ilmu; Juni 2002), h. 163. Lihat juga, M. Din Syamsuddin, Mengapa Pembaruan Islam, dalam Jalaluddin Rahmat et.al, Op.Cit, h. 41.
[6] Lihat, Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Cet, XI; Bandung, Mizan; November 2008), h. 206
[7] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan Itegratif-Interkonektif, (Cet; I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar; Februari 2006), hal. 135
[8] M. Amin Abdulah, Dialektika Agama Antara Profanitas dan Sakralitas, Pengantar dalam Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme, (Cet; I, Jogjakarta, IRCiSoD; 2006), hal. 5.
[9] Biografi Nurcholis Madjid dapat dilihat dalam bukunya, Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Cet;.I, Jakarta, Paramadina;1992) dan Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Cet, XI; Bandung, Mizan; November 1998)
[10] Fachry Ali, dalam, Jalaluddin Rahmat, et.al, Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, (Cet;II,Yogyakarta,Pustaka Pelajar;Agustus 2003), h. 66
[11] Budi Hardianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Cet;.III, Jakarta, Hujjah Press; November 2007), hal. 64
[12] Kunjungan NM ke Amerika sesuai dengan undangan Pemerintah Amerika (Dubes AS untuk Indonesia). Semenjak NM menjadi Ketua Umum PB HMI, Pemerintah Amerika – dengan melihat potensi HMI – sempat mengundang tokoh-tokoh HMI untuk melihat-lihat Amerika, tetapi karena waktu itu belum banyak orang yang terbiasa berbahasa Inggris sehingga NM yang mendapat kesempatan pertama. Dari Amerika NM kemudian melanjutkan perjalannya ke Timur Tengah dengan mengunjungi beberapa Negara di antaranya, Istanbul, Libanon, Syiria, Irak, Kuwait, Arab Saudi, Turki, Mesir, dan Pakistan. Seperti yang di akui NM, bahwa justru perjalannya ke Timur Tengah inilah yang membuatnya mengalami perubahan. Selengkapnya Lihat, Nurcholis Madjid, Latar Belakang perumusan NDP, kata pengantar dalam Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI, Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Pejuangan (NDP), (Cet; I, Jakarta, GP Press Group; November 2007), h. x-xiv
[13] Sebagai bahan perbandingan dan kajian lebih lanjut, lihat, H. M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisasi, (Bulan Bintang;Jakarta 1972). Lihat juga, Abdul Qadir Djaelani, Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholis Madjid, (Yadia;Bandung, 1994).
[14] Lihat, Arnold Toynbee, dalam Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, Op.Cit, hal. 451
[15] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, di terjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul, Benturan Antarperedaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Cet, XI; Yogyakarta, Qalam; Juni 2005), h. 95
[16] Lihat, Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, Op.Cit, h. lxxiv, lihat juga, h. lxxx
[17] Ibid, h. 590
[18] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, Op.Cit, h. 172
[19] Ibid, h. 172-173
[20] Lihat, Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, Op.Cit, h. 452
[21] Lihat Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan, Op.Cit, h. 174
[22] “Dan katakalnlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu…, Q.s., al-Kahfi/18:29
[23] Nucholis Madjid, Islam Kemodernan, Op.Cit, h. 187
[24] Samuel P. Huntington, Op.Cit. h. 98-99
[25] Ibid, 107
[26] Lihat, Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, (Cet, I; Jakarta, Paramadina; Januari 1997), h. 190
[27] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan, Op. Cit, h. 207
[28] Lihat Talcoot Parson dalam, Ibid, h. 258
[29] Ibid, h. 207
[30] Abdul Halim, (editor), Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan Yang Membebasaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, (Cet, II; Jakarta, Kompas; Oktober 2006), h. 124
[31] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, Op.Cit, h. 328-329
[32] Lihat, Ibid, h. xli
[33] Ibid, h. 72
[34] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan, Op.Cit, h. 208
[35] Lihat, Nurcholis Madjid dkk, Islam dan Humanisme, Artikulasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal, (Cet;I, Yogyakarta,Pustaka Pelajar;Januari 2007), hal. 23-24
[36] Q.s., Ar-Rum;30/30
[37] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, Op.Cit, h. 74
[38] Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri. Q.s., Az-Zumar/39:38
[39] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, Op.Cit, 75
[40] Q,s., Az-Dzukhruf/43:87
[41] Lihat, Komaruddin Hidayat dan M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, (Terbitan Ulang Paramadina, Jakarta; Maret 2003), h. 61
[42] Nurcholis, Islam Doktrin, Op.Cit, h. 78
[43] Lihat, Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Consciense and History in a World Civilization, Jilid I. Diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara dengan judul The Venture of Islam, Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, (Cet; II, Jakarta, Paramadina; Agustus 2002), hal. 115